Gadis Yang Mencintai Sepi
Sore ini seharusnya tak terjadi. Sore yang tak aku impikan. Aku dan kamu
sepakat untuk bertemu di tepian kota dengan riak sungai mengalun dan rona
jingga di tubuh sungai. Burung-burung berpergian dengan senandung yang mereka
lantunkan dari paruh mereka. Merdu.
Aku lebih tepatnya terpaksa bertemu dengan kekasihku kala itu. Jauh sebelum
sore ini tiba. Terpaksa sebab temanku memaksauntuk mengenal pria lain. Temanku
berkata bahwa aku harus bahagia dengan mencoba mengenal pria lain. Tapi, apakah
bahagia harus mengenal pria lain? Apakah dengan jatuh cinta aku akan bahagia?
“Cobalah berkunjung ke kafe tempat dia bekerja. Semoga kau bisa bahagia
dengan mengenalnya,” ucap temanku lalu lekas pergi bersama kekasihnya.
Tentu aku terpaksa datang ke kafe di pusat kota itu sebab aku ingin
mengakhiri pertanyaan dari temanku yang selalu datang tanpa habis di percakapan
telepon genggam sebelum aku terlelap. Aku masuk dan duduk di bangku dekat
jendela.
Pusat kota sangat membosankan apalagi sekarang jam pulang kantor. Dapat aku
lihat orang-orang yang bergegas pulang, klakson kendaraan saling menyapa, dan
matahari perlahan tenggelam diantara gedung-gedung, seperti anak kecil yang
sedang bermain petak umpet bersama teman-temannya. Pemandangan yang membuatku
tanpa sadar bahwa di atas meja sudah terhidang dua cangkir kopi.
“Maaf telah membuatmu menunggu lama,” ucap pria yang lalu duduk di depanku.
Kami saling mengenalkan diri. Bercakap dengan obrolan sederhana. Obrolan
perkenalan. Bagaimana kami bisa saling kenal dengan temanku yang pemaksa
berbarengan dengan jeda menyeruput kopi yang dia sajikan disetiap obrolan.
Seperti iklan.
“Aku boleh meminta kontakmu?” tanyanya penuh harap.
“Boleh,” ucapku dan pertukaran kontak terjadi diantara kami.
Saat lelap telah datang menghampiri dan aku hampir berpetualang di peta
mimpi, dering telpon genggamku menyapa. Aku terpaksa membuka telepon genggam
untuk membuka pesan masuk. Pesan masuk dengan isi mengucapkan selamat malam
kepadaku dan tak lupa diujung pesan dia mengatakan bahwa ini kamu, si pria yang
menghidangkan dua cangkir kopi dan mengajaknya mengobrol. Aku tak membalasnya
sebab lelap dan petualangan di peta mimpi telah menungguku.
Setelah pertemuan itu, kamu selalu mengirim pesan untuk mengajak
berbincang. Kamu selalu mengatakan bahwa jangan lupa untuk berkunjung ke kafe
tempat kamu bekerja, menanyakan kapan kita bisa bertemu, dan juga kau ingin
mengajakku berjalan ke tepian kota di kala sore. Tempat yang menurutmu jauh
dari bunyi klakson kendaraan yang saling menyapa dan matahari yang tidak
tenggelam diantara gedung-gedung seperti anak kecil yang sedang bermain petak
umpet bersama teman-temannya.
“Kamu tahu, pemandangan di tepian kota sangat menakjubkan,” ucapmu dalam
sebuah pertemuan entah keberapa yang kita ramu dengan dua kopi dan percakapan.
“Meskipun sudah menjelajah ke tempat lain?”
“Ya, walaupaun sudah menjelajah ke tempat lain.”
“Kamu menyukainya?”
Kamu mengangguk. Lalu kamu menceritakan apa yang membuat tepian kota begitu
indah. Bahwa di tepian kota terdapat sungai dengan riak dan badan yang dironai
kilau emas ranum. Burung-burung berterbangan tak tentu arah dan bersenandung
merdu dengan paruhnya. Kamu bercerita layaknya ibu yang mendongengkan anaknya
sebelum tidur dan aku layaknya seorang anak yang mendengarkan seorang ibu
mendongeng sebelum tidur.
Sebenarnya aku takut patah hati kembali. Bahkan pada suatu waktu, aku
menerka bahwa aku telah dikutuk untuk menjadi gadis yang selalu patah hati. Aku
bahkan mengamini kalimat dari judul buku Bernard Batubara yaitu jatuh cinta
adalah cara terbaik untuk bunuh diri adalah sebuah kebenaran. Aku sengaja tak
menceritakan kepadamu sebab dari matamu, aku tahu, ada harap yang terus
mengetuk hati ini. Harap itu mengetuk keras. Sangat keras. Lagipula aku bukan
tukang cerita yang ulung. Kamu pasti tahu itu dari setiap percakapan yang kita
rangkai. Aku hanya bisa bercerita di buku harianku.
Pelan-pelan, ketukanmu yang penuh harap itu telah membuat aku berpikir
bahwa mungkin terkaanku salah. Mungkin aku harus mencoba membuka hati lagi
sebab dari matamu yang penuh harap, aku tahu kamu takkan membiarkan aku untuk
terlahir patah hati kembali. Aku percaya itu dan aku yakin kau bakal mengutarakan
itu.
Kebenaran itu datang pada suatu sore. Kita sepakat untuk berkunjung ke
tepian kota untuk kesekian kalinya. Kau membawa dua kopi dari tempatmu bekerja.
Kita saling melempar cakap dan rindu serta seruputan yang menjadi jeda layaknya
iklan. Tiba-tiba saja, kamu menggenggam tanganku erat dikala aku sedang
menyeruput kopi panas yang kau bawa dan kamu mengutarakan perasaanmu dengan
pandangan penuh harap. Aku tentu teringat perihal patah hati, tapi pandangan
penuh harap milikmu seraya meyakinkanku bahwa aku takkan terlahir untuk patah
hati kembali. Pandangan yang aku benci.
“Apakah kamu takkan membuatku patah hati?” tanya yang terlontar dari
bibirku.
“Tidak. Tidak akan,” ucapmu sambil memandangku dengan penuh harap.
Aku mengangguk dan tiba-tiba kamu memelukku erat dan hangat. Lebih hangat
dari dua kopi yang kamu bawa dari tempat kerjamu.
Itu adalah alasan kenapa aku membenci sore ini. Sore yang seharusnya tak
terjadi. Sore yang tak aku impikan.
Aku dan kamu sepakat untuk bertemu di tepian kota dengan riak sungai
mengalun dan rona jingga di tubuh sungai. Burung-burung berpergian dengan senandung
yang mereka lantunkan dari paruh mereka. Merdu.
Kamu datang dan kita saling melempar cakap dan rindu. Ketika lemparan cakap
dan rindu rehat, hening menyelip. Kamu biasanya akan menatap pemandangan tepian
kota, tapi kali ini kamu menunduk.
“Kamu kenapa?”
Perlahan, kamu mengangkat kepala lalu tersenyum dengan cara yang beda.
Senyum yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya dan sebuah ucapan terlontar dari
bibirmu yang membuatku membenci sore ini. Sangat benci.
“Maaf, kita tidak bisa bersama lagi,” ucapmu lalu menunduk kembali.
“Kenapa? Bagaimana dengan ucapanmu waktu lalu?” tanyaku tak percaya.
Kamu masih tetap menunduk beberapa saat hingga akhirnya kamu meninggalkan
aku dengan kaca yang pecah dimataku dan berderai membasuh wajah yang kecewa.
Beberapa pertanyaan tumbuh bersama tapi tak ada penjelasan. Sedikitpun.
Setelah sore yang aku benci ini terjadi, rumah seperti bukan tempat yang
hangat dan akrab sebab patah hati yang kamu buat. Aku bukan pencerita yang
ulung dan aku takkan bercerita lagi kepada temanku karena aku tahu semuanya
akan terlahir sama, mengenalkanku kepada pria lain, jatuh cinta, dan patah hati
kembali lagi. Aku lelah.
Pada malam yang mengalunkan damai, aku menuliskan sore ini pada buku harian
dibimbing derai tangis mengalir di wajah dan tatanan hati yang masih patah. Aku
larut dan tanpa sadar lelap merangkul dengan mimpi yang sangat gelap bersama
lantunan damai waktu malam.
***
Sore itu. Sore yang aku benci. Sore yang tak pernah aku harapkan adalah
permulaan untuk rentetan kisah selanjutnya. Malamnya, aku terlalu larut hingga
tanpa sadar lelap merangkul dengan mimpi yang sangat gelap bersama lantunan
damai waktu malam hingga akhirnya kilap pagi mengetuk mataku. Membangunkan
untuk kembali merawat patah hati yang telah terjadi.
Aku menemukan sebuah tulisan yang berharap aku tidak bersedih lagi. Tentu,
perkara untuk tidak bersedih lagi adalah hal yang rumit dan aku tak mungkin
menuliskan hal itu sebab aku hanya menuliskan luka dalam buku harian. Tidak
lebih. Lagipula tidak ada yang masuk ke dalam kamarku atau mungkin aku lupa
bahkan tidak tahu telah menulis kalimat itu sebab terlelap.
Malam itu ternyata hanya permulaan, begitulah aku menganggapnya setelah
setiap malam aku merawat patah hati yang masih segar ke dalam buku harian. Aku
selalu menemukan kalimat itu di setiap pagi. Kalimat yang meminta agar aku
tidak bersedih lagi dan bahkan meminta untuk tidak menangis jika aku bersedih.
Aku benci dengan kalimat itu. Aku rasa, kau boleh menuliskan kalimat
permintaan agar aku tidak bersedih lagi. Tapi, untuk menangis, aku benci itu.
Menangis adalah hak setiap orang dan tak boleh ada orang yang meminta seseorang
untuk berhenti menangis, apalagi aku tak mengenal kau siapa.
“Aku sepi. Maaf aku telah membuatmu marah sebab aku membaca tulisanmu di
buku harian. Aku tidak menginginkanmu menangis karena aku kehilangan raut
senyummu. Kau tahu, senyummu adalah anugerah terbaik yang pernah Tuhan
ciptakan.”
Tentu aku hanya tertawa sebab kalimat yang dia tuliskan dalam buku harianku
pada suatu pagi. Terkadang patah hati membawa seseorang kepada sebuah
ketidakwarasan dan semua orang pasti mengamini hal itu. Apakah ada orang yang
mengaku menjadi sepi? Atau mungkin namamu benar-benar sepi sebab aku menemukan
banyak nama-nama aneh di media sosial.
Tapi, dia tetap mengaku sepi. Sebuah sepi. Patah hati memang mengantarkan
seseorang menuju kepada sebuah ketidakwarasan dan ketidakwarasan mengantarkanku
kepada sebuah kalimat pertanyaan yang aku tulis di buku harian. Memastikan
bahwa aku tidak gila.
“Apakah kau benar-benar sepi? Apakah aku tidak gila karena patah hati?”
Dia membalas seperti hari-hari sebelumnya. Saat pagi. Saat kilap mentari
mengetuk mataku untuk bangun. Dia menuliskan bahwa aku tidak gila, tidak sama
sekali dan dia benar adalah sebuah sepi. Dia juga menuliskan jangan sungkan
untuk bercerita kepadanya.
Pada saat aku belum mengenal pria yang mematahkan hatiku di sore itu dan sebelum
berbalas tulisan dengan sepi, aku pernah bercerita kepada temanku bahwa aku
lelah untuk mengenal pria lain lagi. Aku pikir lebih baik berhubungan dengan
sepi. Mungkin sepi akan memahamiku meskipun sepi hanya sebuah keadaan.
Setidaknya tidak akan membuat diriku patah hati lagi.
“Sudah. Kau jangan bersedih. Nanti akan aku perkenalkan dengan pria lain. Dia
temanku,” ucap temanku.
Ucapanku menjadi sebuah kebenaran. Dari pagi itu, pagi pengakuan kataku,
aku dan sepi saling berbalas tulisan layaknya berkirim pesan melalui surat.
Saling bercerita seperti penyair yang ulung dan tanpa sadar aku mulai jenuh
untuk merawat patah hati yang telah lalu. Sepi memberikan narasi hidup yang
berbeda sehingga aku benar-benar meyakini bahwa sepi benar-benar memahamiku dan
bahkan mungkin juga mencintaiku.
Keyakinan itu mengantarkan aku kepada akhir rentetan dari sebuah kisah.
Malam ini, aku ingin mengubah rentetan kisah sebelumnya. Kisah sedih dan kisah
gila. Aku mengajaknya untuk berbalas tulisan dan dia muncul dengan wujud yang
tak tampak. Aku lalu menuliskan sebuah kalimat. Kalimat yang berisi perasaanku
dan harapan agar aku dan sepi menjadi kekasih.
“Aku menyukaimu. Sangat menyukaimu. Tapi, maaf. Aku tidak bisa,” tulisnya
dalam buku harianku.
“Kenapa?” balasku dengan penuh harap dia akan berubah pikiran.
Tapi, sepi hanya diam dan tetap diam.
Tak semudah seperti yang pernah terbayang
menyatukan perasaan kita
Mungkin inilah jalan yang terbaik*
*Lirik Lagu Padi
– Kasih Tak Sampai
Komentar
Posting Komentar