Cerita tentang Kenangan di Sebuah Kota

Cerita tentang Kenangan di Sebuah Kota


Tak ada yang lebih baik menikmati sebuah pagi, selain dengan cara menyeruput secangkir kopi hangat dan duduk santai di kursi kayu teras rumah. Burung yang terbang lalu berhenti untuk berkicau sesaat di ranting pohon. Ayam yang berkokok. Anak-anak yang berangkat sekolah. Ya, semua itu tiba-tiba mengingatkan aku kepada sebuah kata yang diam-diam perlahan menyelinap dalam pikiranku. Pagi selalu menayangkan pemandangan yang sama.

“Pagi selalu menayangkan pemandangan yang sama,” ucapmu yang kemudian menyeruput teh yang masih hangat.

“Kenapa kamu berpikiran seperti itu?” tanyaku yang ikut menyeruput kopi.

“Haha coba kamu perhatikan. Lihat burung itu. Dia terbang, lalu berhenti di ranting pohon untuk berkicau sesaat dan pergi lagi. Lihat juga anak-anak yang sedang menuju sekolah itu. Dan dengar ayam yang selalu berkokok. Pagi, selalu menayangkan pemandangan yang sama,” ucapmu sambil meletakkan cangkir teh ke atas meja.

“Aku rasa tidak sayang. Pagi selalu punya cara untuk menampilkan dirinya dengan cara yang berbeda.”

“Dimana perbedaannya?” Kau menatapku dengan serius.

“Di Kota ini. Kota ini telah menyuguhkan pemandangan yang berbeda. Kota ini telah dibangun dengan indah tanpa menghapus kenangan yang ada,” ucapku sembari menatapmu dengan senyuman.

Tawa dari wajah keriputmu yang berbinar dan anggukan kepalamu menyetujui pendapatku. Harus diakui, kota ini, kota yang menjadi tempat kelahiran kita sudah banyak berubah tetapi kenangan yang ada tetaplah ada. Tak terhapus. Tak tergantikan.

Begitulah kita menikmati sebuah pagi secara bersama. Berdua. Aku dengan secangkir kopi hangat dan kamu dengan teh hangat. Kemudian, anak-anak kita bergegas untuk pamit untuk bekerja dan seorang cucu yang masih kecil datang kepangkuanmu. Duduk. Meminta teh hangat milikmu. Kamu bilang tehnya masih panas, tunggu dingin dulu, tapi dia tak mendengarmu dan tetap merengek meminta teh hangat itu. Dia menyeruput lalu menangis karena merasa tehnya masih panas. Kita dan anak-anak yang hendak pergi bekerja tertawa. Ya, itu hanya sebagian kecil dari beberapa cuplikan masa lalu. Semua itu membuat aku rindu. Rindu akan kisah kita yang kita rajut di kota ini. Kota kelahiran. Kota yang membesarkan kita.

Kerinduan ini sungguh telah membuatku kosong. Menatap sekitar tanpa memikirkan apapun kecuali rindu, rindu, dan rindu hingga tanpa sadar suara dengan bunyi kata pamit seorang cucu membuyarkan lamunan yang mengatasnamakan rindu.

“Kakek, aku pamit pergi sekolah dulu,” ucap Safira mencium tanganku.

“Pulang sekolah kamu kemana?” tanyaku kepada cucuku.

“Hmm. Langsung pulang ke rumah kek. Ada apa kek?” tanya cucuku penasaran.

“Mau menemani Kakek jalan-jalan nanti sore keliling kota? Selepas Asar?” tanyaku yang lalu menyeruput sisa kopi yang menemaniku menikmati pagi.

Safira mengangguk tersenyum kepadaku. Dia lalu pamit dan pergi berangkat bersama temannya yang sedari tadi menunggu di depan rumah. Sayang, kamu jangan kemana-mana. Tunggu aku di tempatmu. Sore ini, aku akan pergi berkeliling kota, merawat kenangan yang sudah kita rajut di kota yang telah menyatukan kita berdua.



***

Aku masih heran dengan kakek. Aku paham seluk beluk kota ini. Aku selalu berkeliling kota ini jika aku sedang bosan, tapi kenapa tiba-tiba saja di tengah perjalanan Kakek meminta ke lapangan bola yang di depannya terdapat banyak orang yang menjual hewan-hewan peliharaan. Hari ini juga tidak ada pertandingan bola di lapangan bola itu. Kenapa kakek meminta ke sana? Tidak ada yang indah di sana kek. Tidak ada.

“Kamu nanti akan tahu kenapa Kakek mengajakmu ke sana,” ucap Kakek jika aku bertanya kenapa harus ke lapangan bola yang tidak ada apa-apanya.

Sungguh, aku kecewa kek. Aku harap kita bisa ke sebuah tempat. Mungkin ke alun-alun tepi Sungai di kota ini. Di sana kita bisa berbincang bersama dan aku bisa memotret senja. Kakek tahu senja kan? Senja selalu menyuguhkan pemandangan yang bagus untuk dilihat dan dipotret terutama senja di tepi Sungai kota ini kek. Aku bahkan sudah membawa kamera untuk memotret senja itu kek, tapi kenyataannya. Yah, kenyataannya aku mungkin tidak bisa memotret senja. Gumamanku telah menbuat waktu terasa singkat dan kami sudah sampai di lapangan bola yang menurutku tidak ada apa-apa.

“Memang tidak ada yang indah di sini. Kakek tahu kamu suka berbincang dan memotret senja. Apalagi senja di alun-alun tepian Sungai di kota ini adalah yang terbaik. Tapi, apakah ada yang lebih indah daripada kenangan yang sudah terajut lama bersama orang yang kita cintai dibandingkan dengan semburat sebuah senja?” tanya Kakek kepadaku.

Tidak ada yang salah dengan kata-kata Kakek. Ya, kenangan yang sudah terajut lama bersama orang yang kita cintai pasti lebih indah dibandingkan apapun. Bahkan, senja di tepi sungai kota ini yang selalu memberikan semburat yang berkilau tak akan mampu menandingi hal tersebut. Tapi, ada kenangan apa di sini sehingga kakek ingin ke lapangan bola ini?

“Kakek, ada kenangan apa di sini?” tanyaku yang diiringi rasa penasaran yang tinggi.

Kakek tidak duduk. Dia mengajakku untuk melihat isi lapangan bola itu sesaat dan lalu bercerita sembari mengajakku untuk bergegas pergi lagi ke tempat selanjutnya. Ya, kakek bercerita bahwa dahulu dia bertemu seorang perempuan cantik nan ayu. Wanita itu Dian Galih. Nenekku. Tak sengaja bertemu ketika lapangan bola ini pernah menjadi tempat lomba karapan sapi.

“Kakek juga bingung pada saat itu kenapa Nenek mu bisa ada di situ. Wanita secantik dan seanggun dia menurut Kakek tak pantas di tempat seperti itu. Beruntung, secara tak sengaja Kakek bertemu dengan Nenekmu. Coba kalau tidak, bisa gawat,” cerita Kakek ketika kami sedang berjalan untuk ke tempat selanjutnya yang diinginkan Kakek.

Haha. Ternyata lucu juga kisah awal Kakek dan Nenek. Kakek akhirnya berkenalan dengan Nenek di lapangan bola itu. Tak ragu bagi Kakek untuk menanyakan alamat rumah Nenek dan tempat kerja Nenek dimana. Setelah itu, mereka saling bertemu setiap hari. Setiap mereka pulang kerja. Kakek bilang, Nenek sempat risih karena sering dijemput sepulang kerja oleh Kakek, tapi pada hari jumat di sebuah bulan Juni, sehabis pulaang kerja Kakek mengajak Nenek untuk jalan-jalan sebelum pulang ke rumah. Sempat terbesit ragu dan malu di hati Nenek, tapi akhirnya Nenek menganggukan kepala. Menyetujui ajakan Kakek.

“Kita ke Warung Kopi Suka Hati ya? Kamu haus tidak?” tanya Kakek yang memberhentikan ceritanya sejenak.

“Hmm boleh kek. Tapi aku tidak minum kopi ya. Aku tidak bisa minum kopi,” jawabku kepada Kakek.

Kakek hanya tertawa. Di Warung Kopi Suka Hati, Kakek mulai bercerita lagi ketika dia mengajak Nenek jalan-jalan menyusuri Kota ini.

“Dulu jalan utama hanya jalan ini. Jalan Tanjungpura. Jadi, di sini dulu seperti pusat kota,” ucap Kakek lalu menyeruput kopi yang telah datang sedari tadi.

Aku mengangguk. Menyimak cerita Kakek. Lalu Kakek melanjutkan cerita yang sempat terpenggal. Akhirnya pada saat itu Kakek mengajak Nenek ke sini, menikmati secangkir kopi dan sepiring pisang goreng. Kakek dan Nenek saling bercengkrama. Bercerita tentang apapun hingga Warung Kopi Suka Hati tutup. Kakek tak langsung mengajak Nenek pulang karena Kakek tahu tak ada orang yang tidak menyukai sebuah senja. Di kota ini, Pelabuhan Seng Hie dengan segala kesibukannya selalu menyuguhkan senja yang teramat indah. Dengan sampan dan kapal yang hilir mudik melintasi sungai, semburat senja yang keemasan membuat mata semakin terpana. Menguatkan bahwa Kota ini benar-benar indah.

“Bagaimana? Kamu tetap bisa memotret senja bukan?” tanya Kakek memandangku sambil tersenyum.

“Haha iya kek. Terima kasih kek udah ajak Safira jalan keliling kota hari ini,” ucapku berterima kasih kepada Kakek.

“Habis ini mau ke makam Nenek? Kakek rindu Nenek,” tanya Kakek sambil memandang sampan yang tengah membelah Sungai kota ini.

Aku mengangguk. Tanda setuju dan tak perlu waktu lama untuk menikmati senja di pelabuhan tua ini. Seonggok rindu lebih penting bagiku daripada sebuah senja dan kami lalu beranjak pergi ke makam Nenek untuk melepaskan rindu.



***

Kamu mesti tahu sayang. Pagi ini, aku datang ke rumah dalam wujud yang tak nyata. Sebagai sebuah arwah. Menemanimu menikmati pagi yang bagiku selalu saja menyuguhkan pemandangan yang sama. Burung yang terbang lalu berhenti untuk berkicau sesaat di ranting pohon. Ayam yang berkokok. Anak-anak yang berangkat sekolah. Hanya kota ini yang membuat berbeda. Kota ini telah dibangun dengan indah tanpa menghapus kenangan yang ada. Begitulah katamu ketika kita dahulu menikmati sebuah pagi bersama di teras rumah

Ketika aku bisa melihatmu secara dekat, kamu tahu, aku merasa senang. Ada rasa rindu yang akhirnya terluapkan setelah sekian lama tersimpan. Ya, aku terus memaksa malaikat untuk melihatmu tapi tak pernah diizinkan. Kali ini mungkin malaikat sudah lelah dengan keinginanku yang kuat. Sekarang aku bisa melihatmu lagi setelah lama kita tak saling bertatap. Ada kerinduan yang kau simpan dalam dirimu hingga membuatmu terkadang melamun di setiap pagi. Darimana aku bisa tahu? Para malaikat memberitahuku tentang kamu. Tentang kerinduanmu terhadapku.

Aku senang kamu akhirnya mengajak cucu kita, Safira untuk jalan-jalan berkeliling kota ini. Dia ternyata sudah besar. Dulu, pada saat kita menikmati pagi berdua, Safira selalu datang ke pangkuanku. Meminta secangkir teh hangat dan akhirnya menangis karena merasa kepanasan.

“Nenek jahat,” ucap Safira sambil menangis.

Hahaha. Peristiwa itu tak akan pernah aku lupakan sayang. Kamu tentu pasti tidak akan melupakannya bukan?

Kamu terlihat senang ketika berjalan mengelilingi kota ini. Menceritakan tentang semua kisah asmara kita kepada cucu kita. Bagaimana kita bisa tidak sengaja bertemu di lapangan bola yang dulu menjadi tempat karapan sapi, lalu pada hari Jumat di sebuah bulan Juni, kita pergi menikmati kopi dan pisang goreng hanya untuk bercengkerama hingga tutup di sebuah warung kopi yang kini banyak orang bahkan turis berbondong ke sana hanya sekadar untuk menikmati pisang goreng yang terkenal lezat. Tak lupa senja di pelabuhan tua Kota ini. Semburat emas berkilau dan sampan-sampan yang hilir mudik menjadi pemandangan yang memanjakan mata. Bahkan, kita terkadang sampai dimarahi oleh petugas di sana. Semua itu, hal-hal yang pernah kita lakukan dan membuat aku rindu kamu sayang. Aku benar-benar merasakan rindu.

Sayang, lihat semburat senja yang berkilau itu. Perlahan dia memberi pesan selamat tinggal. Ada kata selamat datang dari malam, rembulan, dan bintang-bintang yang akan segera datang. Kamu tidak pulang? Pulanglah sayang. Sudah, kamu istirahat. Aku sudah diberi izin untuk bertemu dengan kamu sampai dua hari ke depan. Apakah kata-kataku ini tak terdengar oleh kamu? Ooh iya, aku lupa. Kamu keras kepala perihal mencintai dan merindukan. Sebab itu, aku beranjak pulang ke tempatku dan ternyata kamu sudah ada di sana. Menuturkan sebuah kata yang segera membuat aku langsung memelukmu dalam wujud asliku sebagai sebuah arwah. Aku rindu kamu.

“Sayang. Maaf, aku tiba-tiba memelukmu tapi kau tau sudah lama kita tak bertemu. Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Aku memelukmu tapi kau tau, ini bukanlah pelukan terakhirku kepadamu. Ketika kau menyusulku ke alamku, kita bisa saling bercerita, bergandeng tangan, dan saling memeluk seperti dahulu tanpa ada batasan waktu. Aku mencintaimu,” ucapku dengan tangis rindu yang tak bisa terbendungkan lagi.

Magrib dan Safira menjadi saksi bahwa kami memang saling merindukan dan berharap waktu berhenti demi kerinduan yang sudah lama kita pendam.

Komentar

Postingan Populer