Mempertanyakan Nasib Pesepak Bola Liga Indonesia di Saat Pandemi

“Mau jadi apa kamu kalau main bola terus? Mau jadi pemain bola? Mau jadi apa nantinya?”

 

Kalimat itu bagi saya dan beberapa anak laki-laki, bukanlah hal yang asing. Orang tua saya, terutama bapak, selalu mengomeli saya seperti itu ketika saya asik bermain bola hingga lupa waktu. Kalimat yang kurang lebih sama itu bahkan sampai masuk ke dalam adegan film Garuda di Dadaku. Bagaimana kakek tokoh utama dalam film tersebut melarang cucunya untuk jadi pemain bola.

 

Sampai di momen tertentu, saya mempunyai pertanyaan yang belum sempat terjawab. Kenapa orang tua selalu melarang anaknya untuk menjadi pemain bola? Kenapa pekerjaan sebagai pemain bola selalu dianggap remeh orang tua? Pertanyaan yang hadir itu, pelan-pelan terjawab dengan kehadiran pandemi Covid-19.

 

Pandemi Covid-19 yang sudah setahun menimpa dunia dan hampir setahun menimpa Indonesia, meluluh lantahkan semuanya. Semua orang merasakan dampak dari pandemi ini termasuk para pesepak bola dan penikmat sepak bola. Di awal pandemi, semua liga sepak bola diseluruh dunia, terpaksa berhenti. Pemain sepak bola berhenti bekerja untuk sementara waktu. Penikmat sepak bola tidak bisa menikmati pertandingan untuk sementara waktu.

 

Beberapa negara memilih untuk melakukan lockdown dan traccing sebanyak-banyaknya untuk menghentikan penyebaran virus yang meluluh lantahkan dunia. Keputusan ini akhirnya membuahkan hasil. Jerman menjadi negara pertama yang memulai liga sepak bolanya dan diikuti beberapa liga di negara-negara lain. Pemain bisa bekerja kembali dan penikmat sepak bola kembali menikmati laga-laga sepak bola walau hanya dari rumah.

 

Tapi, hal itu tidak diikuti oleh Indonesia. Negara ini tidak memutuskan untuk melakukan lockdown dan traccing sebanyak-banyaknya dengan kelakar ingin menyelamatkan ekonomi. Bahkan berkesan meremehkan dengan mengatakan virus ini tidak akan masuk ke Indonesia sebab perizinan yang berbelit-belit hingga mengatakan kita kuat dengan virus ini karena kita suka makan nasi kucing. Kesan meremehkan itu hingga akhirnya membuat kasus pandemi di negara ini tak kunjung usai dan merugikan banyak orang termasuk pesepak bola di Indonesia.

Sampai saat ini tidak ada kejelasan kapan liga di Indonesia akan dimulai. Keputusan untuk melanjutkan liga hanya berputar-putar. Klub mengajukan agar manajemen liga (LIB) melanjutkan liga. LIB mengajukan aspirasi klub kepada PSSI, dan PSSI mengajukan izin ke pihak kepolisian yang berujung tidak diizinkan liga dimulai.

 

Liga yang tak kunjung lanjut membuat nasib pesepak bola menjadi tanda tanya. Beberapa memutuskan untuk hengkang ke liga negara lain seperti liga Thailand dan lain-lainnya. Beberapa lagi memutuskan untuk ikut laga tarkam yang membahayakan fisik mereka. Beberapa lagi tidak memiliki kejelasan. Dengan ketidak jelasan seperti itu, apakah negara telah menyelamatkan ekonomi para masyarakat termasuk para pesepak bola? Butuh berapa lama lagi para pesepak bola di negara ini mempertanyakan nasibnya sendiri? Sementara beberapa dari mereka hanya mengandalkan pemasukan dari bermain sepak bola. Sepak bola di negara ini penuh ketidak jelasan hingga memunculkan kekhawatiran para orang tua pada anaknya yang ingin menjadi pesepak bola.

 

“Mau jadi apa kamu kalau main bola terus? Mau jadi pemain bola? Mau jadi apa nantinya?”

Komentar

Postingan Populer